Hari-hari ini, kakak merasa sedih karena banyak sekali nyawa melayang akibat konflik. Mulai dari konflik betulan seperti perang antar negara atau sekte. Juga perang sepele, hanya gara-gara menuruti hawa nafsu atau emosi yang memuncak. Seakan, di abad 21 ini, harga nyawa semakin murah.
Dikalangan kita masih banyak yang berpikir bahwa kalau ingin aman, damai, tentram dan bahagia maka milikilah "alat keamanan" yang canggih. Hal ini lalu berkorelasi dengan tindakan, yaitu saat ada ancaman, bahaya maka senjata harus dikokang untuk siap ditembakkan. Dan yang lebih mengerikan lagi, untuk mewujudkan perdamaian yang masif, maka tindakan agresifpun kepada lawan sah dilakukan. Hal ini yang kemudian tercermin dalam berita setiap hari. Kita melihat dengan mata kepala kita, di timur tengah seperti tak ada habisnya dar der dor sana sini... dan semua teriak atas nama kebenaran.
Perang perang dan perang. Kalau ingin damai maka kamu harus tunduk dan taat, kalau tidak tunduk dan taat maka kita perang!!! Hoe... ini ilmu dari mana? Herannya lagi, pola pikir seperti ini bukan semata dimiliki oleh negara bar-bar, bahkan negara intelek sekelas Amerika Serikat, Rusia, dan Cina pun menggunakan dasar berpikir seperti ini. Lihat saja mereka, betapa banyak anggaran negara dibelanjakan hanya untuk berfoya-foya membangun dan mempertontonkan betapa kuasanya mereka atas nama kekuatan.
Bagaimana negara kita? Setali tiga uang. Kita menyaksikan betapa banyak organisasi-organisasi yang memobilisasi anggotanya dengan kekuatan ala militer. Yah, memang tidak semua kegiatan berbau kemiliteran, tapi didalam wadahnya mereka dapat dipastikan punya sayap organisasi yang berbau militer. Belum lagi dilini sosial media, setiap ada konflik atau gesekan dengan saudara sebangsa atau tetangga bangsa, selalu saja yang dibawa-bawa adalah kata-kata dan hasutan untuk menghabisi serta merusak. Astaghfirullah.... beginikah mahkluk pemimpin semesta?
Perang, perang dan perang. Disinilah kesedihan itu menyeruak. Bagaimana perdamaian bisa tercipta dari perang? Menurut kakak, tak ada kata damai dari perang, setidaknya begitulah kenyataannya.
Perang, lahir dari rasa terancam atau superioritas yang diwujudkan dalam penggunaan senjata dengan tujuan melemahkan atau menghabisi ancaman sehingga ancaman akan hilang atau tak berdaya sehingga bisa tunduk dan tidak lagi mampu melakukan ancaman. Hasil dari perang adalah pihak yang menang akan menepuk dada bahwa dia jagoan, disisi lain adalah pihak kalah yang kemudian memendam dendam dan benci sehingga kapanpun punya kesempatan, mereka akan melakukan pembalasan dengan lebih menyakitkan.
Perdamaian setelah perang selesai akan tercipta, namun perdamaian itu hanyalah perdamaian semu. Dibawah rasa damai itu, masih kuat dan terus berjalan upaya-upaya untuk melakukan tindakan pemberontakan maupun konspirasi dari pihak yang kalah. Sedang bagi pihak yang menang, akan berusaha semaksimal mungkin mempertahankan kemenangannya sehingga tak jarang muncullah diktatorisme baik secara halus maupun kasar.
Perhatikan baik-baik dua paragraf diatas. Kita sama sekali tidak menemukan kata damai bukan? Kita hanya akan menemukan kata damai tapi perdamaian dalam kepalsuan. Sehingga apapun alasan perang sebagai upaya menciptakan perdamaian adalah tidak tepat. Ketika senjata berbicara, maka darah yang akan mengalir, nyawa yang hilang dan dendam yang tumbuh. Begitu seterusnya. Lalu kenapa para pemimpin dunia yang konon lahir dari kecanggihan pendidikan dan kemajuan jaman, masih terus berlomba-lomba menciptakan perdamaian dengan senjata, dengan mengumbar rasa dengki, dan menepuk-nepuk dada sendiri sebagai kampanye kebanggaan?
Kakak berharap, kita menciptakan perdamain dengan cinta dan kasih sayang. Kita menciptakan perdamain dengan senyum dan pertolongan. Bila kita ingin memenuhi dunia dengan ketenangan, maka kita harus menjadi mahkluk yang berhati bersih seluas semesta...