Kerusuhan supporter di Indonesia itu seperti penyakit flu, bisa datang kapan saja meski telah diobati dan kita berusaha sebaik mungkin mencegahnya. Terlalu banyak variabel yang mengikuti pemicu kerusuhan terjadi, meski secara umum fanatisme yang berlebihan sering kali disebut sebagai biang kerok permasalahan.
Secara pribadi, kakak tidak setuju bila fanatisme dikambing hitamkan, karena supporter tanpa fanatisme sama saja makan bakso tanpa pentol bakso, yo gak cocok kan. Jadi fanatisme itu wajib dimiliki oleh setiap supporter. Namun bagaimana jika fanatisme ini akhirnya menjadi bensin pembakar masalah yang awalnya kecil-kecil?
Barangkali, masing-masing supporter bisa mulai merumuskan bagaimana menyalurkan fanatisme yang over load ini dengan cara-cara yang kretif, indah, santun, damai dan luar biasa. Misal, saking cintanya sama tim yang didukungnya, maka supporter ini rela untuk sopan dan bersikap santun kepada masyarakat dan supporter lain apapun yang terjadi, ia memilih lagu dan yel-yel yang membakar semangat tim tanpa menyakiti perasaan supporter tim lain dan bila mereka mendukung timnya bertanding, baik sebelum dan sesudah pertandingan mereka melakukan bhakti sosial di daerah yang dikunjunginya, sehingga akan tercipta kerinduan dari masyarakat sekitar akan kedatangan supporter tersebut beserta timnya.
Kita rindu, supporter yang atraktif dan menghibur apalagi bisa sampai dibanggakan oleh masyarakat dunia. Kita ingin supporter itu bukan hanya mikir yel, lagu atau spanduk-spanduk raksasa dan konvoi dijalan-jalan yang bikin macet dan onar. Bila saja, supporter yang jumlahnya ribuan ini memiliki visi cinta sosial pula, maka alangkah bermanfaatnya mereka bagi masyarakat sekitar, karena ingat bola bukan lagi sekedar olah raga di Indonesia, bola sudah mencapai tataran budaya dan kebanggaan bagi masyarakat kita. Buktinya, masyarakat begitu bangga memakai kostum tim ketimbang memakai baju daerah.
So, bagaimana ini kakak-kakak dan adik-adik supporter? Mau gak membangun budaya baru supporter di Indonesia yang jauh dari perangai mengerikan di mata masyarakat. Jujur saja, saya sempat menitikkan air mata melihat seorang bapak tua dengan muatan sepeda ontel yang penuh rumput harus neter-neter bahkan hampir jatuh dari jalan gara-gara berusaha menepi menghindari konvoi supporter sepak bola yang lewat dengan rombongan motornya sambil acung-acungin tongkat bendera.
Secara pribadi, kakak tidak setuju bila fanatisme dikambing hitamkan, karena supporter tanpa fanatisme sama saja makan bakso tanpa pentol bakso, yo gak cocok kan. Jadi fanatisme itu wajib dimiliki oleh setiap supporter. Namun bagaimana jika fanatisme ini akhirnya menjadi bensin pembakar masalah yang awalnya kecil-kecil?
Barangkali, masing-masing supporter bisa mulai merumuskan bagaimana menyalurkan fanatisme yang over load ini dengan cara-cara yang kretif, indah, santun, damai dan luar biasa. Misal, saking cintanya sama tim yang didukungnya, maka supporter ini rela untuk sopan dan bersikap santun kepada masyarakat dan supporter lain apapun yang terjadi, ia memilih lagu dan yel-yel yang membakar semangat tim tanpa menyakiti perasaan supporter tim lain dan bila mereka mendukung timnya bertanding, baik sebelum dan sesudah pertandingan mereka melakukan bhakti sosial di daerah yang dikunjunginya, sehingga akan tercipta kerinduan dari masyarakat sekitar akan kedatangan supporter tersebut beserta timnya.
Kita rindu, supporter yang atraktif dan menghibur apalagi bisa sampai dibanggakan oleh masyarakat dunia. Kita ingin supporter itu bukan hanya mikir yel, lagu atau spanduk-spanduk raksasa dan konvoi dijalan-jalan yang bikin macet dan onar. Bila saja, supporter yang jumlahnya ribuan ini memiliki visi cinta sosial pula, maka alangkah bermanfaatnya mereka bagi masyarakat sekitar, karena ingat bola bukan lagi sekedar olah raga di Indonesia, bola sudah mencapai tataran budaya dan kebanggaan bagi masyarakat kita. Buktinya, masyarakat begitu bangga memakai kostum tim ketimbang memakai baju daerah.
So, bagaimana ini kakak-kakak dan adik-adik supporter? Mau gak membangun budaya baru supporter di Indonesia yang jauh dari perangai mengerikan di mata masyarakat. Jujur saja, saya sempat menitikkan air mata melihat seorang bapak tua dengan muatan sepeda ontel yang penuh rumput harus neter-neter bahkan hampir jatuh dari jalan gara-gara berusaha menepi menghindari konvoi supporter sepak bola yang lewat dengan rombongan motornya sambil acung-acungin tongkat bendera.